Selasa, 27 Januari 2009

PANDANGAN ALKITABIAH MENGENAI MANUSIA

Apakah Anda pernah menerima dengan terbuka ide-ide di bawah ini?
Pandangan humanistik: Manusia memiliki sifat yang baik. Injil: Roma 7:18; Titus 3:5; Yeremia 17:9, "Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu." Pandangan alkitabiah: Alkitab secara jelas mengajarkan bahwa manusia telah jatuh dan sudah sepenuhnya rusak. Kita adalah pendosa yang butuh seorang Penyelamat. Bersyukur, Tuhan Yesus mati bagi kita untuk menghapus dosa kita dan menyelamatkan kita.

Pandangan humanistik: Alasan mengapa manusia selalu berbuat dosa adalah karena mereka tidak pernah memikirkan diri mereka sendiri sebagai yang tertinggi; mereka merasa tidak penting; mereka memiliki harga diri yang rendah. Mereka tidak bisa diharapkan untuk bisa bertingkah laku dengan benar. Injil: Roma 12:3 dan 3:10-12; Yohanes 8:34, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa."Pandangan alkitabiah: Manusia berdosa karena mereka sudah lahir sebagai pendosa. (Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "Lakukan ini untuk mengingat Aku." Hal ini menunjukkan, ada yang lebih penting dari gambaran anggur yang menandakan darah-Nya yang mulia dan roti yang belum dipecah yang melambangkan tubuh Kristus yang tak berdosa. Kita juga perlu mengingat bahwa dengan adanya perjamuan terakhir, bangsa Israel dibebaskan dari perbudakan, dari perhambaan di Mesir. Melalui darah penebusan Kristus di Kalvari, orang percaya yang lahir baru dilepaskan dari perbudakan, dari perbudakan dosa! Puji Dia!)

Pandangan humanistik: Jangan tampar Bobby; kamu akan merusak harga dirinya! Dia benar-benar memiliki sifat yang baik. Injil: Ibrani 12:6; Amsal 29:16 dan 22:15, "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya. Pandangan alkitabiah: Sekali lagi, setiap anak dan orang dewasa adalah pendosa, rusak secara alami. Disiplin disertai kasih yang terus-menerus diberikan tidak akan merusak harga diri, namun sebenarnya dapat memerbaiki sifat anak dan memberikannya pandangan yang tepat mengenai mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini akan menghasilkan ketaatan yang akan membuahkan sukacita. Sebaliknya, kurang disiplin akan menghasilkan anak yang merasa tidak aman (tidak ada batasan) dan akibatnya menjadi semaunya sendiri dan egois.

Pandangan humanistik: Yesus datang untuk mati bagi kita karena begitu berharganya manusia di mata Tuhan. Injil: "Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!" (Roma 5:10). Pandangan alkitabiah: Intinya adalah bahwa kita adalah musuh Allah. Tidak ada hal baik dalam diri kita, tidak ada yang pantas mendapatkan keselamatan dari Tuhan. Ia tidak menyelamatkan kita karena kita baik, pintar, cerdas, atau cantik. Ia hanya memilih untuk mengasihi kita dan menebus kita. Dengan mengetahui hal ini, kasih dan anugerah Tuhan menjadi lebih menakjubkan!

”TUHAN, MENGAPA ENGKAU MEMBENTUK AKU SEPERTI INI?"

(Persoalan Mengenai Ucapan Syukur, Bukan Menghargai Diri Sendiri)

Setelah beberapa dekade, terjadi pergeseran pendapat masyarakat mengenai bagaimana seharusnya orang memandang dirinya sendiri. Secara khusus, intinya adalah kebutuhan untuk membangun harga diri seseorang atau mencintai diri sendiri. Apakah Anda mendeteksi ada permasalahan di sini?

Hal yang paling menonjol di sini adalah "diri". Pada dasarnya, hal itu adalah cita-cita yang manusiawi karena menempatkan manusia sebagai orang yang mengambil alih dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai "tuhannya".

Inti dari teologi ini adalah manusia menjadikan dirinya sebagai "tuhan", bukan Allah yang menjadi yang pertama dan terutama. Ini bukan hal baru, karena manusia selalu berusaha meminimalisir dosanya dan kerusakan moral yang diturunkan dari dosa Adam. Secara tradisional, gereja Kristen merespons tren baru dengan dua cara.
Gereja bisa menerima dengan hangat ide-ide baru tersebut dengan sedikit memikirkannya atau meninjaunya dengan hati-hati, atau mereka akan menolak dan menjauhinya dengan membuat "peraturan-peraturan" tambahan yang sebenarnya tidak diperlukan.

Dalam lingkungan evangelikal, teologi "self-esteem" atau menghargai diri sendiri telah diterima secara relatif. Dalam lingkungan fundamentalis, ada penolakan terhadap ajaran ini dan ada tindakan menjauhi topik ini. Oleh sebab itu, tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk memberikan pendekatan yang berbeda sebagai suatu usaha untuk melihat subjek ini dari pandangan yang diharapkan tidak berat sebelah. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang diselidiki:

Apakah pandangan Alkitabiah tentang manusia? Apakah seharusnya kita tidak mengajarkan bahwa hidup kita berharga, berguna, dan penting?

MASALAH RENDAHNYA RASA HARGA DIRI

Saya yakin bahwa sebagian besar dari kejatuhan atau dosa pertama, kita bermula dari kurangya rasa harga diri. Ini adalah suatu masalah, yang dimiliki semua orang, tidak peduli bagaimana cara kita, dibesarkan. Bahkan jauh di lubuk hati orang-orang yang berasal dari keluarga yang mendekati ideal pun ada perasaan seperti ini, "Aku memunyai kekurangan. Orang lain mungkin tidak, tetapi aku punya kekurangan. " Bagi sebagian orang, keraguan pada diri sendiri ini tidak pernah menjadi masalah yang sangat serius. Tetapi bagi beberapa yang lainnya, hal itu mungkin menjadi masalah berat.

Keraguan pada diri sendiri dapat menjadi masalah bagi orang-orang yang sedang menuju kedewasaan atau sedang mengalami hubungan-hubungan antarpribadi yang tanpa kasih sayang, tidak disetujui, dan tidak diterima. Hampir semua masalah rendahnya rasa harga diri timbul dari gambaran diri yang diperoleh dari orang-orang yang berarti dalam hidup kita, seperti orang tua, saudara, teman-teman sebaya di lingkungan tempat tinggal, tempat kerja, bahkan di gereja. Sebagai manusia, kita memerlukan penerimaan, pengakuan, dan kasih sayang. Jika orang-orang yang penting dalam hidup kita justru memberi celaan, penolakan, dan suatu perasaan seakan-akan kita tidak dikehendaki, maka kebutuhan pokok kita tidak terpenuhi.

Akibatnya, muncul perasaan harga diri yang rendah sekali. Kita melihat bayangan kita di mata orang-orang ini, dan kita berkata kepada diri kita sendiri, "Saya tidak berharga. "Sebab lain dari rendahnya rasa harga diri adalah pengetahuan teologi yang kurang serta buruknya pengajaran di gereja maupun di dalam keluarga kita. Banyak dari kita yang telah menghasilkan kebaikan dari suatu sifat buruk. Nampaknya, kita percaya bahwa sikap mencela diri itu menyenangkan Tuhan, bahwa ini merupakan bagian dari kerendahan hati orang Kristen, bahkan hal ini perlu untuk memeroleh penyucian dan kekudusan. Dengan berpikir seperti ini, kita telah mencampurkan rasa harga diri yang baik dengan sifat egoisme duniawi yang buruk.

Kedua hal ini tidak sama. Yang benar dari persoalan tersebut adalah bahwa di dalam Kitab Suci, meremehkan harga diri bukanlah sifat rendah hati kristiani yang sejati. Meremehkan harga diri sebenarnya bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok iman Kristen. Sebagai contoh, Yesus menyuruh kita mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (Lukas 10:27, mengutip dari Imamat 19:18). Dengan berkata demikian, yang dimaksudkan oleh Yesus adalah kita hendaknya memiliki harga diri yang pantas. Kita hendaknya menyadari harga diri kita sendiri sebagai manusia dan menggunakan rasa berharga itu sebagai dasar untuk mengasihi sesama kita dengan layak.

Paulus pun menjadikan rasa harga diri sebagai dasar bagi suatu perkawinan yang bahagia. Ia berkata, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya," (Efesus 5:28,29). Salah satu versi Alkitab dalam bahasa Inggris menyatakannya sebagai berikut, "Kasih yang diberikan seorang laki-laki kepada istrinya adalah perluasan dari kasihnya kepada dirinya sendiri yang ia berikan untuk membungkus istrinya." Selanjutnya, Paulus mengatakan bahwa inilah jenis hubungan yang dipunyai Kristus dengan gereja-Nya, "Bagi kamu masing-masing ... kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri," katanya meringkaskan (ayat 33) Mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri bukan hanya suatu perintah. Hal itu adalah suatu fakta kejiwaan.

Kita dapat mengasihi sesama kita sampai sejauh kita mengasihi diri sendiri. Seseorang yang rasa harga dirinya rendah akan sangat sukar bergaul dengan orang lain. Kita tidak mungkin mengasihi orang lain tanpa syarat bila kita perlu membuktikan nilai diri kita sendiri, tetapi ketika kita yakin bahwa kita berharga di hadapan Allah, kita bebas mengulurkan tangan kasih kepada orang lain. Jadi, merendahkan diri sendiri tidak sama dengan kerendahan hati, kekudusan, atau pun kesucian. Merendahkan diri bukanlah apa yang dimaksudkan di dalam Perjanjian Baru, dengan menyalibkan diri kita sendiri (seperti yang terdapat di dalam Galatia 2:20, misalnya). Yesus tidak meminta kita untuk merendahkan diri kita sendiri, dan perasaan rendah diri kita bukan berasal dari Tuhan.

Perasaan rendah diri itu sebenarnya berasal dari masa lalu kita. Bila rasa harga diri kita didasarkan pada apa yang orang lain pikirkan tentang kita, carilah sumber informasi lain tentang harga diri kita. Kita harus mendapat rasa harga diri kita dari penilaian Tuhan sendiri. Ia mengasihi, menghargai, dan menilai kita di dalam rencana yang Ia buat bagi diri kita. Paulus berkata, "Terpujilah Allah yang Agung, karena melalui Anak-Nya yang tercinta Ia sangat mengasihi kita" (Efesus 1:6, Alkitab Kabar Baik). Bagi saya, artinya adalah bila kita ada di dalam Kristus, Allah memandang kita dan berkata tentang kita seperti Ia berkata tentang Yesus pada saat pembaptisan-Nya, "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan," (Matius 3:17).

Bagaimana kita dapat memiliki harga diri yang sesuai dengan pandangan Tuhan terhadap diri kita? Berikut ini ada beberapa saran:
1. Menyadari cara Saudara dalam menilai diri sendiri. Saya telah menasihati orang-orang agar
memohon kepada Tuhan untuk memeriksa setiap kali mereka meremehkan arti diri mereka sendiri. Satu atau dua minggu kemudian mereka kembali lagi kepada saya dan mereka benar-benar merasa heran. "Anda tahu," kata mereka, "saya tidak menyadari bahwa hal ini begitu dalam tertanam di dalam diri saya. Saya menganggap rendah harga diri saya siang dan malam.

2. Belajarlah untuk menerima informasi yang baik maupun yang buruk.Saya mengatakan kepada orang-orang untuk berlatih menerima pujian dengan senyum dan ucapan terima kasih. Hendaknya mereka berhenti memberikan sifat rohani pada keberhasilan mereka dan jangan menganggap karunia-karunia mereka tidak berharga dengan menyebut hal seperti itu sebagai kerendahan hati

3. Berhenti mengatakan "akulah!" Cara lain untuk mengatasi rendahnya rasa harga diri adalah dengan berhenti menggunakan pernyataan "akulah". Hanya Yesus yang berhak memakai "Akulah" karena Dia dan hanya Dia sendiri yang membuat sesuatu. Sebaliknya, Saudara dan saya selalu akan menjadi sesuatu. Bila Saudara membuat pernyataan "akulah" – akulah bodoh, akulah jelek, akulah tidak dikasihi, akulah canggung kita membatasi diri kita dengan cara yang paling tidak perlu. Jika kita terbiasa memakai pernyataan-pernyataan yang demikian, akan diperlukan banyak doa dan pergumulan untuk mengubah keadaan itu. Kita bisa meminta Roh Kudus untuk memeriksa kita setiap kali kita menggunakannya. Sebagai ganti pernyataan "akulah", kitadapat mengatakan, "Saya adalah seorang anak Tuhan dan Ia mengasihi saya."

4. Mintalah pertolongan. Jika kita sering mengalami penolakan, maka kita perlu bekerja keras sebelum kita dapat menilai diri kita sebagaimana Tuhan menilai kita. Banyak perencanaan ulang dan penyembuhan ingatan yang mungkin diperlukan jika kita pernah menghadapi pukulan-pukulan yang berat terhadap keadaan diri kita. Kita tidak mungkin mendapat kesembuhan ini dengan kekuatan sendiri; kita membutuhkan pertolongan orang lain, dan kita tidak boleh ragu-ragu untuk memintanya. Tuhan akan menyembuhkan Saudara sesuai dengan waktu yang ditentukan-Nya. Ia sangat gembira dengan setiap langkah kemajuan yang Saudara buat. Kasih-Nya kepada Saudara adalah tanpa syarat.

Kasih-Nya sama sekali tidak bergantung pada keadaan Saudara yang mungkin patut dikasihi, tidak bergantung pada apakah Saudara berhak memerolehnya atau tidak, dan juga tidak bergantung pada soal Saudara dapat mencapainya atau tidak. Kasih-Nya diberikan kepada Saudara secara cuma-cuma. Karena Saudara tidak dapat menghidupkan kasih Tuhan itu dengan sesuatu yang Saudara lakukan, Saudara juga tidak dapat memadamkannya dengan suatu perbuatan. Saudara sama sekali tidak dapat membuat Tuhan berhenti mengasihi Saudara. Saudara dapat menolaknya, menutup diri terhadapnya, lalai menerimanya, membuat tembok yang menghalangi Saudara dari kasih itu, dan Saudara bahkan dapat pergi ke neraka daripada menerimanya apabila itu yang Saudara pilih. Tetapi, Tuhan akan terus mengasihi Saudara, bagaimana pun keadaannya.
Jika Ia menghargai Saudara begitu tinggi, atas dasar apa Saudara mengatakan bahwa diri Saudara tidak berharga?Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul Buku: Pola Hidup Kristen
Nama penulis: David Seamands
Penerbit: Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang; Yayasan Kalam Hidup,Bandung; Lembaga Literatur Baptis, Bandung; dan YAKIN, Surabaya 2002Halaman: 378 – 382